Aku dan suami
menikah sepuluh tahun silam di akhir tahun 2000. Hingga saat ini, Allah
telah menitipkan padaku ini tiga amanah yang kesemuanya putri. Putri
bungsu kami baru lahir satu setengah bulan yang lalu. Ia selamat atas
izin Allah, saat kami sebagai orangtua benar-benar pasrah dan ikhlas
serta menyerahkan semua urusan kami pada Allah. Kami hanya memohon dan
berikhtiyar yang terbaik. Dan Allah membalas kepasrahan kami, dengan
kabar gembira, walhamdulillah.
Selama sepuluh tahun menikah, aku hamil tujuh kali. Empat diantaranya abortus/keguguran,
bayi meninggal antara usia 4-5 bulan. Satu di antaranya kembar, tapi
Allah tak menitipkannya lama-lama pada kami. Empat kali itu pula aku
menjalani kiret. Dan hal itu pula, kata Dokter yang membuat kehamilanku
yang terakhir bermasalah, rahimku “berantakan”, sobek di sana-sini dan
lengket. Hal itu pula, hal terberat yang disampaikan dokter padaku dan
suami seusai operasi. Bahwa mau tak man aku harus disteril. Satu hal
yang tak kuingin ataupun diinginkan wanita normal manapun. Dokter bilang
akan sangat rawan bagiku dan bayi bila aku mengandung lagi.
“Saya tahu perasaan Anda, Bu. Ini semata untuk kebaikan ibu, juga anak-anak ibu yang sudah lahir. Ini fakta dan harus ibu tahu, bahwa rahim ibu sudah kritis”, “Bla, bla…. “
“Saya tahu perasaan Anda, Bu. Ini semata untuk kebaikan ibu, juga anak-anak ibu yang sudah lahir. Ini fakta dan harus ibu tahu, bahwa rahim ibu sudah kritis”, “Bla, bla…. “
Penjelasan dokter seperti petir yang menyambar hati dan telingaku. Air
mataku menganak sungai. Begitu halnya suami. Dan meski berat akhirnya
kuturuti saran dokter….
Dinda Fatimah AzZahra putri sulungku lahir selamat tepat satu setengah tahun usia perkawinan kami. Tak ada kendala berarti selama aku hamil dan melahirkannya. Perutku mulas saat naik tangga hendak membetulkan genteng rumah. Jangan heran, itulah sisa-sisa “ketomboyan”-ku dulu, masih suka muncul saat kepepet. Qadarudah, kala itu genteng kamar bocor hingga hujan masuk Suami sedang keluar rumah. Daripada banjir dan kasur basah, aku nekad membetulkannya. Begitu turun tangga, kontraksi tambah kuat. Jadilah aku ke bidan tanpa suami dan jalan kaki. Bu bidan yang memberi tahu suami, dua jam setelah anak kami lahir. Suami kaget, dan sempat “ngomel” padaku karena nekat naik tangga, meski ia begitu bahagia.
Dinda Fatimah AzZahra putri sulungku lahir selamat tepat satu setengah tahun usia perkawinan kami. Tak ada kendala berarti selama aku hamil dan melahirkannya. Perutku mulas saat naik tangga hendak membetulkan genteng rumah. Jangan heran, itulah sisa-sisa “ketomboyan”-ku dulu, masih suka muncul saat kepepet. Qadarudah, kala itu genteng kamar bocor hingga hujan masuk Suami sedang keluar rumah. Daripada banjir dan kasur basah, aku nekad membetulkannya. Begitu turun tangga, kontraksi tambah kuat. Jadilah aku ke bidan tanpa suami dan jalan kaki. Bu bidan yang memberi tahu suami, dua jam setelah anak kami lahir. Suami kaget, dan sempat “ngomel” padaku karena nekat naik tangga, meski ia begitu bahagia.
Putri keduaku lahir 7 jam kemudian. Meski sungsang ia lahir normal. Saat
lahir kulitnya kering dan keriput.hal itu wajar saja. Karena ketuban
pecah sudah berjam-jam. Aku sempat sedikit bermasalah saat
mengeluarkannya. Karena jalan lahir kering. Alhamdulillah, ia akhirnya
lahir selamat dengan berat 3,6 kg. Dan aku mendapat 16 jahita!
MasyaAllah, jangan ditanya seperti apa rasanya!!
Dua tahun kemudian aku hamil kembali. Namun kali ini kehamilanku sering
bermasalah. Saat kehamilah 4 bulan dan 6 bulan sempat mengalami flek.
Perut pun sangat nyeri, bahkan terasa sangat nyeri luar biasa selama
kehamilan. Belum lagi ketuban bocor yang terjadi saat kehamilan tujuh
bulan. Dirawat di rumahsakit selama sepekan. Alhamdulillah kehamilan
dapat dipertahankan.namun dokter sempat khawatir bila ada virus masuk.
Dokter memintaku untuk sangat berhati-hati.
Masuk usia kehamilan delapan bulan aku mengalami flek darah lagi. Baru
sepekan berhenti, ketuban bocor lagi, hingga kembali membuatku bedrest di rumah sakit. Kali ini jauh lebih lama dari sebelumnya. Dan sekali lagi alhamdulillah kandungan bertahan.
Kehamilan sembilan bulan, rasa sakit berupa nyeri di rahimku kian tak
menentudan kian sering serta bertambah parah. Hampir tiap hari aku
menangis karena tak kuat menahan nyeri. Terakhir aku sampai jatuh
pingsan. Kami akhirnya menemui dokter lagi. Hasil USG menunjukkan
plasenta sudah kisut, dan menurut dokter ada kemungkinan terjadi
pengapuran. Padahal pemeriksaan di rumah sakit bulan lalu saat bedrest, ari-ari masih bagus. Keputusan terakhir, aku harus menjalani operasi besok pagi.
Malam itu juga aku dirujuk ke rumah sakit. Gelisan dan menangis
sepenjang malam dan baru terlelap jam 2 dinihari. Takut membayangkan
operasi. Merasakan sakit di perut hingga bingung biaya operasi. Ditengah
kebingunganku serta ketakutan aku dan suami akhirnya pasrah. Pinjaman
susah didapat sekarang, apalagi pada orang tak punya seperti kami. Lagian, malam-malam begini mau mencari pinjaman kemana?
Esok hari, aku bersiap operasi, suami pamit sebentar mencari sarapan.
Atas izin Allah suamiku bertemu Mas Dewo. Anak majikan mertuaku dulu.
Dari kecil mereka tumbuh bersama, hingga saat dua orang tua Mas Dewo
meninggal, mertua keluar dari kerja, meski sebenarnya mereka berat
melepasnya.
Setelah bertanya kabar dan keadaan, Mas Dewo tahu aku operasi.
Pertolongan Allah datang. Mas Dewo membiayai seluruh biaya rumah sakit.
Bahkan masih menitipkan amplop sebesar 2 Juta untukku. Subhanallah, alhamdulillah,
dua hari selama tugas di kota kami, ia bolak-balik hotel-rumah sakit
untuk menjenguk kami. Ya, meski anak juragan kaya, ia tetap baik dan
rendah hati. Tak membedakan status, bahkan tetap menganggap suami
seperti saudara. Saat pamit, ia menangis memeluk suamiku dan
meninggalkan nomor HP.
Putri bungsuku lahir dalam keadaan tubuh membiru, lehernya terlilit tali
pusar, tak bernapas dan tanpa denyut nadi. Aku tahu karena mengikuti
percakapan dokter dengan paramedis di ruang operasi. Aku hanya bisa
pasrah. Subhanallah, hatiku
begitu tenang bahkan aku tak menangis. Dalam hati aku memasrahkan
semuanya, agar Allah memberi yang terbaik. Lima menit berlalu tak ada
tangisbayi terdengar. Hingga tiba-tiba, “Oeekkkk…! Tim dokter mengacungkan jempol ke arahku. Walhamdulillah ia
hanya semalam di inkubator, tiga hari berikutnya ia pulang. Usianya
kini satu setengah bulan dan montok. Mudah-mudahan kelak 3 buah amanah
ini menjadi perhiasan dunia dan akhirat kami